Keindahan Islam sering dihadirkan oleh musuh-musuh Allah atau orang
yang di dalam hatinya masih tersembunyi keraguan akan keagungannya.
Sering keindahan Islam diplesetkan dengan sesuatu yang mengerikan dan
menakutkan. Seperti hukuman rajam, qishos dan mati bagi orang murtad.
Tetapi jika disadari sepenuhnya semua itu ditegakan demi keindahan
bangsa manusia itu sendiri. Seperti orang yang dihukumi oleh Islam
sebagai orang yang murtad (keluar dari agama Islam) maka yang harus
ditegakkan oleh pemerintah Islam adalah memberikan hukuman kepada orang
tersebut dengan hukum bunuh. Akan tetapi musuh Allah menghadirkan
hukuman ini dengan sesuatu yang menyeramkan bukan dengan keindahan. Jika
orang yang mengerti Islam, keagungan Islam dan keindahan Islam maka
akan sangat mudah memahami keindahan hukum bunuh bagi orang yang murtad.
Sesungguhnya di dalam Islam jika ada orang yang keluar dari agama
Islam memang harus dibunuh, akan tetapi ketahuilah bahwa orang tersebut
tidak langsung dibunuh.
Dalam persoalan ini ada istilah “Istitab” yaitu mengajak bertaubat
orang-orang yang akan dihukum tersebut dengan duduk bersama dan
diingatkan untuk kembali kepada Allah SWT. Dan sebisa mungkin
dihadirkan sesuatu dan sebab yang bisa menjadikan dia sadar dan
kembali kepada kebenaran. Karena kematian seorang yang murtad bukanlah
tujuan ditegakkannya sebuah hukuman akan tetapi tujuan yang sesungguhnya
adalah agar dia kembali kepada jalan yang benar, kembali kepada
kerinduan kepada Allah SWT. Jangan sampai dia terus terjerumus dalam
kekafiran yang menjadikan dia kekal abadi di dalam neraka jahannam.
Setelah diajak bertaubat dan diberi himbauan untuk kembali kepada
Allah SWT, jika ternyata dia masih saja tidak mau kembali maka di saat
itulah akan diangkat pedang diatas lehernya bahwasanya jika masih tetap
di dalam kekafiran maka akan dibunuh. Jadi cara menghukum bukan
langsung dibunuh tetapi harus ada himbauan untuk kembali kepada
kebenaran terlebih dahulu ( Istitab ), barangkali dia keluar dari agama
Islam (murtad) karena ketidaktahuan. Dan setelah itu jika memang
benar-benar masih menentang kepada kebenaran Islam maka saat itu dia
harus dibunuh. Yang harus difahami bahwa terbunuhnya seseorang itu bukan
sesuatu yang dicari-cari akan tetapi untuk menjaga orang lain agar
tidak terus terjerumus di dalam kemurtadan yang menghantarkannya ke
neraka.
Sungguh jika ada orang muslim yang murtad kita harus menangis, bukan
bertepuk tangan lalu mengangkat pedang dan membunuhnya. Tetapi yang
harus dihadirkan di dalam diri kita adalah kerinduan agar ia kembali
kepada Allah SWT. Begitu juga jika kita menghadapi banyaknya
aliran-aliran sesat jangat dikemas yang sesat menjadi tidak sesat hal
itu hanya akan menambah orang yang sesat akan semakin hilang dan semakin
jauh dari Allah SWT dan Rasulullah SAW. Sebab dengan mengemas yang
busuk menjadi terlihat harum artinya kita telah menipu ummat dan
menunjukkan kalau kita tidak cinta kepadanya.
Kita punya keyakinan bahwa kebenaran Islam itu ada, maka jika ada
seseorang masuk ke aliran yang sesat atau “murtad” maka saat itu pun
harus ada kerinduan bagi kita untuk mengembalikannya di satu sisi, dan
di sisi lain untuk menghalangi orang lain agar tidak terjerumus
mengikuti kesesatan dan kemurtadan tersebut. Apakan setelah itu ia akan
kita bunuh atau tidak. Itu adalah hukum imamah, artinya yang berhak
membunuh hanyalah pemerintah dengan prosedur tersebut diatas. Akan
tetapi jika kemurtadan dan ketersesatan kita tutup-tutupi hal ini
amatlah berbahaya sebab akan banyak orang Islam yang akan tertipu dan
terjerumus. Dan cara menutup-nutupi ini justru akan menjadikan tidak
tentramnya sebuah negeri. Sebab yang namanya kebusukan jika dibungkus,
suatu saat akan tercium dan terungkap. Dan bersama itu juga keributan
akan muncul kembali. Akan tetapi yang semestinya kita lakukan adalah
bagaimana kita menyikapi dan menghentikan kekafiran dengan bijak dan
bukan dengan jalan yang keras dan anarkhis sebagaimana yang banyak
dilakukan oleh kaum muslimin sekarang ini.
Ketauhilah sesungguhnya gerakan kaum Muslimin dalam menyikapi
kemurtadan dan kesesatan akan tetap muncul sebagai bentuk kerinduan
kepada saudara-saudaranya agar kembali kepada kebenaran Islam. Akan
tetapi langkah dan gerak kaum muslimin harus penuh hikmah. Begitu juga
pemerintah saat ini harus memberikan ketegasan terhadap apa yang
terjadi pada kekafiran Ahmadiyah sebagai wujud keadilan pemerintah dan
penegakan negara hukum. Hal ini bukan dalam kerangka menindas kaum
minoritas akan tetapi mendudukkan mereka pada porsi yang sebenarnya di
hadapan kaum mayoritas. Bukan malah mengemas “ kesalahan kaum minoritas
di depan kaum mayoritas “ yang justru akan menjadikan permasalahan umat
ini semakin parah. Jangan kaum mayoritas yang telah istiqomah meyakini
kebenarannya lantas kemudian dibohongi untuk menerima pemahaman dan
keyakinan kaum minoritas yang jelas-jelas salah dengan kemasan
palsunya.
Kesesatan tidak boleh ditutupi baik oleh negara, para alim, pendidik
dan umat Islam serta masyarakat Indonesia lainnya. Jangan sampai yang
jelas-jelas kafir dikatakan tidak kafir yang hanya akan menjadikan
banyak umat Islam yang akan tertipu di kemudian hari. Wallahua’lam
bisshowab